Riwayat Kasta dibali dimulai ketika Bali dipenuhi dengan
kerajaan-kerajaan kecil dan Belanda datang mempraktekkan politik pemecah belah,
kasta dibuat dengan nama yang diambilkan dari ajaran Hindu, Catur Warna.
Lama-lama orang Bali pun bingung, yang mana kasta dan yang mana ajaran Catur
Warna. Kesalah-pahaman itu terus berkembang karena memang sengaja dibuat rancu
oleh mereka yang terlanjur “berkasta tinggi”.
Pada masyarakat Hindu di Bali, terjadi kesalahan pahaman kasta dibali dan kekaburan dalam
pemahaman dan pemaknaan warna, kasta, dan wangsa yang berkepanjangan. Dalam
agama Hindu tidak dikenal istilah Kasta. Istilah yang termuat dalam kitab suci
Veda adalah Warna. Apabila kita mengacu pada Kitab Bhagavadgita, maka yang dimaksud
dengan Warna adalah Catur Warna, yakni pembagian masyarakat menurut
Swadharma (profesi) masing-masing orang. Sementara itu, yang muncul dalam
kehidupan masyarakat Bali adalah Wangsa, yaitu sistem kekeluargaan yang diatur
menurut garis keturunan. Wangsa tidak menunjukkan stratifikasi sosial yang
sifatnya vertikal (dalam arti ada satu Wangsa yang lebih tinggi dari Wangsa
yang lain). Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada warga
masyarakat yang memiliki pandangan bahwa ada suatu Wangsa yang dianggap lebih
tinggi daripada Wangsa yang lain. Untuk merubah pandangan seperti ini memang
perlu sosialisasi dan penyamaan persepsi. Oleh karena itu, lebih baik tidak
diperdebatkan lagi.
Yang jadi persoalan, ketika kasta diperkenalkan di Bali
di masa penjajahan itu, nama-nama yang dipakai adalah nama Catur Warna:
Brahmana, Kesatria, Wesya, Sudra. Jadi, pada saat itu semua fungsi Catur Warna
diambil alih oleh kasta, termasuk gelarnya.
Celakanya kemudian, gelar-gelar itu diwariskan turun
temurun, diberikan kepada anak-anaknya tak peduli apakah anak itu menjalankan
fungsi sosial yang sesuai dengan ajaran Catur Warna atau tidak. Contohnya,
kalau orang tuanya bergelar Cokorde, jabatan raja untuk di daerah tertentu,
anaknya kemudian otomatis diberi gelar Cokorde pada saat lahir. Kalau
orangtuanya Anak Agung, juga jabatan raja untuk daerah tertentu, anaknya yang
baru lahir pun disebut Anak Agung. Demikianlah bertahun-tahun, bahkan berganti
abad, sehingga antara kasta dan ajaran Catur Warna ini menjadi kacau.
Dalam pergaulan sehari-hari pun masyarakat yang berkasta
sudra (Jaba) berkedudukan sangat rendah. Seperti misalnya seorang yang berasal
dari kasta sudra harus menggunakan Sor Singgih Basa, untuk menghormati
kasta-kasta yang lebih tinggi.
Kasta itu dibuat dan dikemas sesuai dengan garis keturunan Patrinial,
diantaranya:
Sudra (Sanskerta: śūdra)
adalah sebuah golongan profesi (golongan karya) atau warna dalam agama Hindu di India.
Warna ini merupakan warna yang paling rendah. Warna lainnya adalahbrahmana, ksatria, dan waisya. Sudra adalah golongan karya seseorang yang bila hendak melaksanakan
profesinya sepenuhnya mengandalkan kekuatan jasmaniah, ketaatan, kepolosan,
keluguan, serta bakat ketekunannya. Tugas utamanya adalah berkaitan langsung
dengan tugas-tugas memakmurkan masyarakat negara dan umat manusia atas
petunjuk-petunjuk golongan karya di atasnya, seperti menjadi buruh, tukang,
pekerja kasar, petani, pelayan, nelayan, penjaga, dll. mereka hanya dberi nama menurut urutan
kelahiran seperti; Wayan (anak pertama), Made (kedua), Nyoman (ketiga) dan
Ketut (keempat). Jika ada yg mempunyai lebih dari 4 orang anak namanya akan
kembali lagi keurutan pertama (wayan), begitupun seterusnya.
·
Waisya adalah
golongan karya atau warna dalam tata masyarakat menurut agama Hindu.
Bersama-sama dengan Brahmana dan Ksatria, mereka disebut Tri Wangsa, tiga
kelompok golongan keraya atau profesi yang menjadi pilar penciptaan kemakmuran
masyarakat. Bakat dasar golongan Waisya adalah penuh perhitungan, tekun,
trampil, hemat, cermat, kemampuan pengelolaan asset (kepemilikan) sehingga kaum
Wasya hampir identik dengan kaum pedagang atau pebisnis. Kaum Waisya adalah
kelompok yang mendapat tanggungjawab untuk menyelenggarakan kegiatan ekonomi dan
bisnis agar terjadi proses distribusi dan redistribusi pendapatan dan
penghasilan, sehingga kemakmuran masyarakat, negara dan kemanusiaan tercapai. Mereka diberi gelar Gusti Bagus (laki-laki) dan
Gusti Ayu (perempuan).
·
Kesatria atau ksatria,
adalah kasta atau warna dalam agama Hindu. Kasta ksatria ini merupakan bangsawan dan merupakan tokoh
masyarakat bertugas sebagai penegak keamanan, penegak keadilan, pemimpin
masyarakat, pembela kaum tertindas atau lemah karena ketidak-adilan dan
ketidak-benaran. Tugas utama seorang ksatria adalah menegakkan kebenaran,
bertanggung jawab, lugas, cekatan, prilaku pelopor, memperhatikan keselamatan
dan keamanan, adil, dan selalu siap berkorban untuk tegaknya kebenaran dan keadilan.
Di zaman dahulu ksatria merujuk pada klas masyarakat kasta bangsawan atau tentara, hingga raja.
Zaman sekarang, ksatria
merujuk pada profesi seorang yang mengabdi pada penegakan hukum, kebenaran dan
keadilan prajurit, bisa pula berarti perwira yang gagah berani atau pemberani.
Kelompok ini termasuk pemimpin negara, pimpinan lembaga atau tokoh masyarakat
karena tugasnya untuk menjamin terciptanya kebenaran, kebaikan, keadilan dan
keamanan di masyarakat, bangsa dan negara. yg diberi gelar Anak Agung.
·
Brahmana adalah
salah satu golongan karya atau warna dalam agama Hindu. Mereka adalah golongan cendekiawan yang
mampu menguasai ajaran, pengetahuan, adat, adab hingga keagamaan. Di zaman
dahulu, golongan ini umumnya adalah kaum pendeta, agamawan atau brahmin. Mereka
juga disebut golongan paderi atau sami. Kaum Brahmana tidak suka
kekerasan yang disimbolisasi dengan tidak memakan dari makluk berdarah
(bernyawa). Sehingga seorang Brahmana sering menjadi seorang Vegetarian. Brahmana adalah golongan karya yang
memiliki kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan baik pengetahuan suci maupun
pengetahuan ilmiah secara umum. Dahulu kita bertanya tentang ilmu pengetahuan
dan gejala alam kepada para brahmana. Bakat kelahiran adalah mampu
mengendalikan pikiran dan prilaku, menulis dan berbicara yang benar, baik,
indah, menyejukkan dan menyenangkan. Kemampuan itu menjadi landasan untuk
mensejahterakan masyarakat, negara dan umat manusia dengan jalan mengamalkan ilmu pengetahuannya, menjadi manggala (yang
dituakan dan diposisikan secara terhormat), atau dalam keagamaan menjadi
pemimpin upacara keagamaan. Dimana sampai sekarang mereka diberi gelar/title
Ida Bagus (laki-laki) dan Ida Ayu (perempuan).
Pada zaman dahulu masyarakat di Bali tidak boleh
menikah dengan kasta yg berbeda. Seiring perkembangan zaman, aturan itu tidak
berlaku lagi untuk saat ini. Mereka boleh menikah dengan kasta yg berbeda
dengan syarat kasta yg perempuan harus mengikuti yg laki-laki. Jika kasta
perempuan dari kasta yg tinggi, menikah dng kasta yg lebih rendah, maka kasta
si perempuan akan turun mengikuti suaminya. Begitu juga sebaliknya, Karena di
Bali laki-lakilah yg menjadi ahli waris dari generasi sebelumnya.
Sumber:
0 Response to "SISITEM PELAPISAN SOSIAL (KASTA) DI BALI"
Posting Komentar