kasus Lampung dalam batas-batas tertentu dapat dikatakan bersifat klasik. Di dalamnya
melibatkan tipe konflik yang bernuansa primordial, yang mengingatkan kita pada
konflik yang terjadi di Sampit, Sambas, Kalbar, dan sejumlah daerah
pascareformasi. Meski sebagian kalangan melihat konflik antarkampung di Lampung
ini tak terkait masalah etnisitas, mengabaikan faktor ini juga kurang tepat.
Hal ini mengingat secara kasat mata pihak-pihak yang berkonflik memiliki
keterkaitan kuat dengan kedua etnis yang terlibat, yakni etnis Lampung dan
Bali.
Sejak kehadirannya, etnis Bali—berbeda dengan orang
Jawa—dipandang membawa persoalan tersendiri bagi sebagian masyarakat Lampung.
Gugus persoalan ini mencakup ”legitimasi kehadiran” masyarakat Bali yang
dipandang masih bermasalah karena menempati wilayah yang belum sepenuhnya
diizinkan ataupun karena perbedaan adat kebiasaan dan agama. Kenyataan pula
bahwa kedua etnis relatif hidup terpisah dalam nuansa yang eksklusif
(enclave). Tidak mengherankan jika kedua etnis itu kerap masih merasa asing
satu dan lainnya. Hal ini terjadi terutama di Lampung Selatan dan Lampung
Utara.
Meski secara kultural sebenarnya kedua etnis itu memiliki
kearifan lokal yang dapat diandalkan untuk menciptakan kerukunan dan mencegah
konflik, tetapi dalam berbagai kasus konflik terlihat bahwa kearifan lokal itu
seolah sirna.
Masyarakat Lampung punya kearifan lokal berupa Piil
Pesenggiri (Piil), yang di dalamnya terkait soal kehormatan diri yang muncul
karena kemampuan mengolah kedewasaan berpikir dan berperilaku. Di sini
kemampuan hidup berdampingan dengan berbagai kalangan, termasuk pendatang,
merupakan salah satu inti ajaran Piil itu. Begitu juga masyarakat Bali dengan
ajaran Bhinneka Tunggal Ika, Tatwam Asi (kamu adalah aku dan aku
adalah kamu) dan Salunglung Sabayantaka, yang mengajarkan demikian dalam arti
penting hidup berdampingan secara damai.
Situasi di Lampung ini cerminan bahwa nilai-nilai kearifan
lokal makin terpinggirkan. Setidaknya mengalami pergeseran makna. Konsep Piil,
misalnya, mengalami penyempitan makna sekadar membela harga diri. Alih-alih
dikaitkan keharusan kedewasaan berperilaku, masalah ”kehormatan diri” justru
jadi alasan pembenaran untuk menempuh cara apa pun sejauh itu dianggap dapat
menjaga harga diri. Sementara respons dari kalangan Bali menunjukkan bahwa
nilai-nilai kedamaian dan toleransi yang dianut juga tidak mampu bekerja dengan
sempurna.
Tentu saja, persoalan primordial ini tidak berdiri
sendirian. Dalam kasus Lampung, persoalan ini berkelindan dengan kenyataan
adanya disparitas ekonomi, yang bagi sementara kalangan sudah makin terlihat
nyata. Kaum pendatang, terutama Bali, merupakan komunitas yang cukup sejahtera,
sementara etnis Lampung tidak cukup baik kondisinya sebagai ”tuan rumah”. Di
sini, persoalan klasik kecemburuan sosial antara ”pribumi” dengan ”pendatang”
telah cukup membutakan akal sehat dan menjadi rumput kering yang berpotensi
membara manakala menemukan pemantiknya.
Sumber:
http://nasional.kompas.com/read/2012/11/03/02372888/Kompleksitas.Konflik.Lampung.
0
komentar